Terima Kasih Telah Meluangkan Waktunya Untuk Mengunjungi Blog Ini

Jabatan, Amanah dan Tanggung Jawab

Berebut jabatan. Itulah agenda sebagian masyarakat Indonesia saat ini. Ya, saya sebut sebagian karena tidak semuanya demikian. Buat saya pribadi, rasanya heran saja melihat begitu banyak masyarakat Indonesia yang berlomba untuk menjadi yang terbaik dan meraih ‘keberhasilan’ dengan duduk sebagai legislator di negeri ini.

Mungkin ada pertanyaan yang tergelitik dalam hati antum. Mengapa saya menggunakan tanda petik pada kata keberhasilan? Buat sebagian orang hal itu mungkin sepele. Tapi saya yakin ada di antara antum yang tidak menganggap sepele. Saya yakin ada yang menganggapnya sebagai sesuatu yang terselubung untuk disampaikan.

Sebenarnya memang ada sesuatu yang khusus, yang ingin saya sampaikan. Tapi, terlebih dahulu saya ingin bercerita santai dengan antum.

Ya, saya lihat di berbagai media massa, seluruh – saat ini, saya tidak mengatakan sebagian – elit-elit politik meraih jabatan sebagai anggota legislator, atau presiden, atau gubernur, atau jabatan-jabatan politis lainnya dianggap sebagai sebuah keberhasilan. Dan disyukuri sebagai ‘anugerah’ yang mereka dapatkan atas kerja keras mereka.

Ah, lagi-lagi saya menggunakan tanda petik. Apa sih maksudnya? Santai saja. Dengan mengikuti alur tulisan singkat ini, saya yakin antum cukup cerdas untuk menjawabnya sendiri.

Makna Jabatan

Saya teringat sebuah sabda Rasulullah saw yang terekam oleh goresan pena seorang ahli hadis ternama sepanjang sejarah kaum muslimin; Imam Bukhari.

Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang imam (amir) pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang isteri pemimpin dan bertanggung jawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang pelayan (karyawan) bertanggung jawab atas harta majikannya. Seorang anak bertanggung jawab atas penggunaan harta ayahnya. (HR. Bukhari Muslim)

Ternyata Rasulullah saw menempatkan jabatan, menempatkan posisi kepemimpinan sebagai sebuah amanah. Sebagai sesuatu yang harusnya kita pertanggungjawabkan. Dan pertanggungjawaban itu, yakinlah, tak akan terlewat oleh Allah satu pun. Sekecil apa pun itu.

Dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (QS al An’aam 59)

(Lukman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (QS Luqman 16)

Saya memaknai tanggung jawab sebagai sebuah beban. Mengapa? Semata karena kekkhawatiran saya terhadap jabatan yang saya pikul. Tak masalah kalau saya bisa mengemban amanah tersebut. Kalau tak sanggup? Saya tak mampu membayangkannya.

Mungkin standar beban masing-masing kita berbeda-beda. Suatu hal bisa dimaknai berbeda antara satu dengan lainnya di antara kita. Dan saya coba untuk memaklumi hal itu. Tapi, saya kira kita akan sepakat ketika mencermati reaksi seorang Umar bin Khaththab ketika didaulat menjadi seorang khalifah. Apa reaksinya? Gemetar! Tertunduk lesu! Bayangkan, satu-satunya manusia di dunia yang memiliki keberanian untuk membunuh Rasulullah saw secara langsung sebanyak dua kali itu begitu takut menghadapi beban amanah yang diberikan padanya.

Saya begitu terkesan dengan kisah ini. Bagaimana seorang yang terkenal begitu berani, tanpa kompromi pada orang-orang kafir, seorang panglima perang yang berwibawa, dan dihormati baik oleh kawan maupun lawan, ternyata begitu takut ketika dihadapkan pada jabatan.

Sangat ironis ketika kita membandingkan pemberian jabatan di zaman khilafah rasyidah dengan saat ini. Meski begitu banyak yang mengklaim diri mereka sebagai seorang muslim, menjanjikan untuk memperjuangkan aspirasi kaum muslimin, atau mengklaim diri mereka sebagai pejuang hak-hak rakyat, ternyata sedikit sekali, atau bahkan tidak ada yang mengambil ibrah dari kisah ini.

Sangat ironis, ketika kita melihat orang-orang yang begitu takut pada besarnya hegemoni negara-negara adidaya, melihat orang-orang yang begitu cinta pada kehidupan dunianya, ternyata dengan jumawa berebut jabatan yang bersifat sementara ini.

Sangat ironis mengingat hal ini terjadi di tengah negara yang dihuni kaum muslimin dengan jumlah terbesar di dunia. Mengingat bahkan partai yang melabeli diri mereka sebagai partai Islam, atau partai dakwah juga ikut melakukan hal tersebut.

Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang imam (amir) pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang isteri pemimpin dan bertanggung jawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang pelayan (karyawan) bertanggung jawab atas harta majikannya. Seorang anak bertanggung jawab atas penggunaan harta ayahnya. (HR. Bukhari Muslim)

Kembali saya teringat hadis tersebut. Hadis itu mengisyaratkan bahwa apa yang diperbuat oleh rakyatnya, sebagian merupakan tanggung jawabnya juga. Kenapa sebagian? Karena perbuatan (dalam paragraf berikut, saya mengasosiasikan kata ‘perbuatan’ sebagai perbuatan maksiat) yang dilakukan oleh rakyat tersebut bisa jadi berasal dari dua hal.

Pertama, karena keinginan sendiri, tanpa ada pengaruh dari penguasa. Dalam hal ini, penguasa telah berusaha sekeras mungkin untuk menutup pintu-pintu kemaksiatan dan melonggarkan jalan menuju maslahat. Akhirnya, pilihan pun berada di tangan rakyat itu sendiri. Ketika mereka ber-amal shalih, mereka akan mendapatkan ganjaran yang sesuai. Tak ketinggalan pula ganjaran bagi para penguasa yang telah memberikan sarana dan kemudahan bagi kaum muslimin dalam amal shalih tersebut.

Kedua, karena keinginan sendiri plus peluang yang diberikan oleh penguasa. Dalam poin ini, kita tak mampu melihat peran penguasa dalam membentengi kaum muslimin dengan pendidikan yang memadai, atau dengan regulasi yang mengayomi kepentingan kaum muslimin. Akibatnya, ketika kaum muslimin ber-amal shalih, bisa jadi mereka tidak memperoleh ‘bagian’ dalam amal shalih tersebut karena pada dasarnya mereka tak berbuat apa pun sekedar untuk mempermudah kaum muslimin dalam melaksanakan kepentingannya. Sedangkan ketika masyarakatnya bertindak maksiat, bisa jadi ‘bagian’ dosa yang ia terima semakin besar karena ia, sekali lagi, tak bertindak apa pun demi memberikan kebaikan bagi saudara-saudaranya. Wallahu a’lam bishshawab..

Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika ia masih tidak mampu, maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman (HR Muslim)

Saya berandai-andai bila saya menjadi seorang pemimpin di negeri ini. Dan merinding hati saya ketika membayangkan amanah yang akan saya pikul. Ketika seperempat saja dari masyarakat Indonesia yang berjumlah lebih dari dua ratus juta penduduk ini berbuat maksiat, serta tak ada yang seorang pemimpin lakukan untuk mencegahnya, apa yang akan saya katakan nanti di hadapan Allah nanti? Bisakah saya menjawab pertanyaan Allah yang Allah ajukan? Seberapa besar dosa yang akan saya tanggung ketika saya hanya bisa terdiam melihat kesyirikan menyebar di kubur para wali, di rumah bocah ingusan pemilik ‘batu petir’, atau di goa-goa sarang kesyirikan yang malah dijadikan obyek wisata? Sanggupkah saya menerima beban itu, ketika lagi-lagi saya hanya bisa terdiam melihat perbuatan bid’ah merajalela, terdiam melihat hukum-hukum Allah terinjak-injak oleh hegemoni thaghut yang selalu merongrong syariat Allah yang mulia ini, atau ketika saya hanya bisa terdiam menyaksikan minuman keras dijual bebas, atau ketika saya sibuk memikirkan suksesi jabatan saya saat syubhat menyerang pemikiran kaum muslimin.

Sekali lagi, saya berandai-andai. Tentu fakta yang terjadi di lapangan tidak hanya sebatas hal tersebut. Dan asumsi saya – semoga saja saya salah – tidak hanya seperempat penduduk Indonesia yang bertindak maksiat. Melihat kondisi moral bangsa yang seperti ini, saya pikir asumsi saya itu bukanlah hal yang mustahil. Nah, sekarang, coba kita renungkan apa yang akan terjadi pada tindakan pertanggungjawaban kita nanti di hadapan Allah, jika mayoritas penduduknya bermaksiat seperti itu? Pantas saja seorang Umar bin Khaththab, manusia gagah dan pemberani itu, begitu takut pada jabatan...

Apakah salah? Saya belum menyatakan salah atau benar. Karena saya kira tidak tepat rasanya bila kita membahas semuanya dalam satu kesempatan ini. Namun, ketika kita melihat ketakutan seorang Umar ketika diserahi jabatan, saya jadi berpikir. Apakah mereka paham tentang makna sebuah jabatan?

Pemimpin, Antara Musibah dan Rahmat

Sudah saya sebutkan bahwa saya memaknai jabatan sebagai tanggung jawab; sebagai amanah. Dan amanah sudah pasti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Rabb semesta alam. Karena amanah adalah tanggung jawab, maka tentu kita tak bisa sembarangan dalam memikulnya.

Bahkan, dalam hadis yang lain, Rasulullah saw sampai menjelaskan bahwa sebuah pertanda bahwa Allah menghendaki kebaikan atas sebuah kaum, adalah diturunkannya pemimpin yang bijaksana dan adil dalam membagi tugas dalam pemerintahan.

Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi suatu kaum maka dijadikan pemimpin-pemimpin mereka orang-orang yang bijaksana dan dijadikan ulama-ulama mereka menangani hukum dan peradilan. Juga Allah jadikan harta-benda di tangan orang-orang yang dermawan. Namun, jika Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum maka Dia menjadikan pemimpin-pemimpin mereka orang-orang yang berakhlak rendah. DijadikanNya orang-orang dungu yang menangani hukum dan peradilan, dan harta berada di tangan orang-orang kikir. (HR. Ad-Dailami)

Begitu pula sebaliknya. Rasulullah saw mengisyaratkan bahwa musibah yang akan menimpa kaum muslimin nantinya juga akan berkutat seputar kepemimpinan seorang amir.

Ada tiga perkara yang tergolong musibah yang membinasakan, yaitu (i) Seorang penguasa bila kamu berbuat baik kepadanya, dia tidak mensyukurimu, dan bila kamu berbuat kesalahan dia tidak mengampuni; (2) Tetangga, bila melihat kebaikanmu dia pendam (dirahasiakan / diam saja) tapi bila melihat keburukanmu dia sebarluaskan; (3) Isteri bila berkumpul dia mengganggumu (diantaranya dengan ucapan dan perbuatan yang menyakiti) dan bila kamu pergi (tidak di tempat) dia akan mengkhianatimu. (HR. Ath-Thabrani)

Maka, kepemimpinan menjadi masalah yang begitu penting bagi Islam dan kaum muslimin. Islam bukannya tidak punya sistem politik yang spesifik. Bukan. Namun memang, realitanya, saat ini belum ada negara-negara yang mengklaim diri mereka sebagai negara muslim, atau negara religius, yang mau menempatkan al Quran dan as Sunnah sebagai konstitusi negara tersebut.

Pemimpin bisa jadi akan menyebabkan datangnya rahmat yang ditunggu oleh rakyatnya. Namun pemimpin juga bisa jadi penyebab turunnya murka Allah di muka bumi. Tinggal bagaimana kita menyikapi sistem politik yang telah ada ini. Masalah ini, insya Allah akan kita bahas lebih mendalam di bawah judul Imam yang Mana?.

Ambisi pada Jabatan

Nah, karena begitu pentingnya jabatan tersebut, Rasulullah saw menuntut kaum muslimin, baik yang akan menjadi pemimpin, maupun yang akan menjadi pihak yang dipimpin, selektif untuk menentukan siapa pemimpin di antara mereka.

Kami tidak mengangkat orang yang berambisi berkedudukan. (HR. Muslim)

Inilah salah satu kriteria bagi para pemilik hak suara untuk menentukan pemimpin. Inilah salah satu persyaratan bagi kaum muslimin dalam menentukan khalifah, atau paling tidak pejabat-pejabat yang ada di bawahnya. Meski ada begitu banyak persyaratan dalam proses seleksi kepemimpinan, tapi paling tidak, Rasulullah saw memberi penekanan dalam satu aspek ini. Apakah dia berambisi pada jabatan? Apakah ia berhasrat pada tanggung jawab?

Dari sini saja, saya sudah menganggap bahwa fatwa MUI itu tak masuk akal. Mau diletakkan di mana hadis ini? Mau dimaknai apa hadis ini? Sedangkan Imam Syafi’i, dalam ar Risalah telah menjelaskan bahwa, al ashlu fi al kalami al haqiqah. Hukum asal dari sebuah perkataan adalah makna hakikat, adalah makna sebenarnya. Hakikatnya, hadis ini tentu merupakan larangan bagi setiap muslim untuk memilih mereka yang berambisi pada jabatan. Dan saya kira, tak bisa dimaknai secara qiyas.

Saya masih belum membicarakan ayat-ayat al Quran maupun nash hadis yang berkaitan dengan kebenaran mutlak dari sistem politik Islam. Saya masih ingin membahas masalah ini dari aspek ambisi terhadap kepemimpinan. Dan tanggapan saya terhadap fatwa MUI ini baru berkisar seputar aspek yang sedang kita bahas saat ini, yaitu mengenai ambisi kekuasaan.

Baik, kita lanjutkan. Saya pikir, kita terlalu sering menganalisis sebuah permasalahan dari sudut pandang maslahah. Padahal, seperti yang diungkapkan Syaikh Musthafa Masyhur dalam Fiqh Da’wah, penentuan hukum atau sikap dengan qaidah maslahah itu memiliki banyak batasan yang harus dipatuhi. Dan saya lihat, batasan-batasan maslahah itu seringkali diterjang habis. Sehingga, metode qiyas yang digunakan pun terkesan sembarangan. Akibatnya, hadis-haids yang sebenarnya berderajat shahih dan dengan pengertian yang sharih pun lepas dari pengamatan kita. Padahal, kita paham bahwa sumber hukum utama bagi kaum muslimin adalah al Quran dan as Sunnah. Padahal, penalaran manusia selalu terbatasi oleh ruang dan waktu. Sedang kalamullah selamanya akan tetap teguh sebagai pedoman bagi umat manusia. Maka sekarang, tergantung dari kita, mau berjalan di atas jalan kebenaran atau tidak.

Pertanyaan berikutnya: Siapa calon pemimpin negeri ini yang tak berambisi pada kekuasaan? Sungguh mustahil bila ada yang mengaku tak berambisi meraih jabatan sedang ia telah mengeluarkan dana milyaran rupiah demi sebuah kursi kepemimpinan. Kalau memang mereka berambisi untuk menciptakan kemashlahatan umat, kalau memang mereka berkeinginan untuk mensejahterakan masyarakat, kenapa tak mereka gunakan saja uang sebanyak itu untuk membangun sekolah gratis? Kenapa mereka tak gunakan dana itu untuk pelayanan kesehatan murah bagi masyarakat? Kenapa mereka tak gunakan harta mereka untuk peningkatan kualitas aqidah kaum muslimin? Kenapa dan kenapa...

Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya jika diberi karena ambisimu maka kamu akan menanggung seluruh bebannya. Tetapi jika ditugaskan tanpa ambisimu maka kamu akan ditolong mengatasinya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Tentu, hadis ini tak hanya ditujukan pada Abdurrahman bin Samurah. Hadis ini berlaku umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia karena tak ada petunjuk khusus lainnya yang mengisyaratkan bahwa khitab hadis ini semata ditujukan pada Abdurrahman bin Samurah.

Hadis ini memberikan sebuah pelajaran berharga bagi kita, kaum muslimin. Bagi mereka yang berkeinginan untuk memimpin masyarakat, atau bagi mereka yang telah memangku kewenangan dalam mengatur hajat kaum muslimin. Dan saya pikir sudah cukup jelas, bahwa setiap jabatan yang dikejar dengan bersungguh-sungguh, bahkan dengan menabrak rambu-rambu syariat seperti larangan riya’, larangan ‘ujub, perintah memegang teguh janji, dan sebagainya, hanya akan menghadirkan kesendirian yang mencekam hati kita. Hanya akan mendatangkan kesedihan yang menggelayut dalam diri kita.

Lain halnya dengan amirul mukminin, yang diangkat dengan penuh keridhoan dari Allah beserta kaum muslimin. Segala perkataannya akan dipatuhi oleh kaum muslimin, dan segala usahanya akan mendapat pertolongan dan jalan keluar dari Allah.

Dan barangsiapa bertaqwa pada Allah, maka Allah akan menjadikan baginya jalan keluar (QS ath Thalaq 2)
0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Page Ranking Tool

Contributors

Foto Saya
MANGGE ABHOENK
Lihat profil lengkapku

Recent Posts

Traffic Blog